DATA INTAKE SISWA DALAM KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL (KKM)
A. Latar Belakang
Penilaian proses pembelajaran telah mengarahkan pembelajar untuk mengkuantitatifkan hasil berupa angka-angka. Angka-angka ini kemudian akan dianalisis untuk menghasilkan suatu criteria tuntas atau belum tuntas/remedial. Justifikasi ini berdasar dari patokan yang telah disusun dan disepakati oleh guru dalam musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) dalam satu satuan pendidikan. Hasil musyawarah akan diperkuat dan resmi diberlakukan setelah ditandatangani oleh kepala sekolah, komite sekolah dan diketahui oleh kepala dinas pendidikan kabupaten untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang demikian telah menjadi warna pengembangan sekolah sekarang. Namun kenyataannya, membuat kriteria dan indikator keberhasilan pembelajaran tidaklah semudah mengukur produktivitas dan kualitas pada bidang pekerjaan lain. Pembelajaran melibatkan unsur siswa dengan segala karakteristiknya, mulai dari latar belakang keluarga, lingkungan, ekonomi, kemampuan, motivasi, dan sebagainya. Selain itu perubahan yang terjadi pada diri siswa setelah melalui sebuah proses pembelajaran juga tidak nampak dan sulit diukur, terutama pada dimensi nilai dan sikap.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada dasarnya merupakan pengembangan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang mempuanyai ciri; 1) berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented), 2) berbasis pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tertuang pada Standar Isi, 3) bertolak dari Standar Kompetensi Lulusan (SKL), 4) Memperhatikan pengembangan kurikulum berdiversirikasi, 5) mengembangkan kompetensi secara utuh dan menyeluruh (holistic), 6) menerapkan prinsip ketuntasan belajaran (mastery learning).
Berdasarkan ciri-ciri tersebut khususnya pada point 6), penilaian yang dilakukan dengan penilaian acuan patokan (criteria referenced) dengan asumsi dasarnya adalah,
1. Bahwa semua orang bisa belajar apa saja, hanya waktu yang diperlukan berbeda
2. Kriteria harus ditetapkan terlebih dahulu, dan
3. Hasil evaluasi tersebut adalah tuntas dan tidak tuntas/ lulus dan tidak lulus.
Penetapan KKM ini biasanya dilakukan di awal tahun dengan data dan analisis dari proses pembelajaran tahun sebelumnya dan beberapa indikator lainnya. Sehingga setiap sekolah memiliki tingkat KKM yang berbeda tergantung situasi dan, kondisi dan kemampuan sekolah masing-masing. Sehingga dalam penetapan KKM ini setiap sekolah diharuskan melakukan penetapan melalui rambu-rambu atau aturan yang baku sehingga walaupun tingkat KKM berbeda, namun proses dan standar penetapannya tetap sama atau baku. Beberapa rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam membuat Kriteria Ketuntasan Minimal adalah sebagai berikut:
1. KKM ditetapkan pada awal tahun pelajaran
2. KKM ditetapkan oleh forum MGMP sekolah
3. Nilai KKM dinyatakan dalam bentuk bilangan bulat dengan rentang 0 – 100
4. Nilai ketuntasan belajar maksimal adalah 100
5. Sekolah dapat menetapkan KKM dibawah nilai ketuntasan belajar maksimal
6. Nilai KKM harus dicantumkan dalam LHBS
Ketuntasan belajar dapat diartikan sebagai pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan peserta didik dalam menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator yang telah ditetapkan.
Penetapan KKM ini dibuat sebagai indikator minimal bagi siswa dalam mengasai suatu indikator pembelajaran. KKM ini Pula yang akan menentukan apakah seorang siswa dinilai layak untuk bisa meneruskan pembelajarann ke tingkat berikutnya. KKM juga bisa dijadikan indikator kualitas pembelajaran disuatu sekolah, karena dengan KKM yang tinggi maka diharapkan akan ”memaksa” guru maupun sekolah untuk melakukan berbagai usaha untuk mencapai KKM tersebut. KKM pun akan berdampak pada kualitas lulusan suatu sekolah karena dengan KKM yang tinggi maka pemahaman siswa terhadap suatu siswa juga mengalami peningkatan dan meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan ujian akhir, baik ujian sekolah maupun ujian negara.
Kriteria Ketuntasan Minimal dibentuk dari tiga komponen utama yaitu: 1) Kompleksitas materi, 2) Daya dukung sekolah, dan 3) Intake siswa.
1. Kompleksitas: data kompleksitas banyak diperoleh dari kompetensi guru dan materi bahan ajar. Kesulitan/kerumitan setiap indikator, kompetensi dasar, dan standar kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik. Suatu indikator dikatakan memiliki tingkat kompleksitas tinggi, apabila dalam pencapaiannya didukung oleh sekurang-kurangnya satu dari sejumlah kondisi sebagai berikut:
a. guru yang memahami dengan benar kompetensi yang harus dibelajarkan pada peserta didik;
b. guru yang kreatif dan inovatif dengan metode pembelajaran yang bervariasi;
c. guru yang menguasai pengetahuan dan kemampuan sesuai bidang yang diajarkan;
d. peserta didik dengan kemampuan penalaran tinggi;
e. peserta didik yang cakap/terampil menerapkan konsep;
f. peserta didik yang cermat, kreatif dan inovatif dalam penyelesaian tugas/pekerjaan;
g. waktu yang cukup lama untuk memahami materi tersebut karena memiliki tingkat kesulitan dan kerumitan yang tinggi, sehingga dalam proses pembelajarannya memerlukan pengulangan/latihan;
h. tingkat kemampuan penalaran dan kecermatan yang tinggi agar peserta didik dapat mencapai ketuntasan belajar.
2. Kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran pada masing-masing satuan pendidikan
a. Sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kompetensi yang harus dicapai peserta didik seperti perpustakaan, laboratorium, dan alat/bahan untuk proses pembelajaran;
b. Ketersediaan tenaga, manajemen sekolah, dan kepedulian stakeholders sekolah.
3. Tingkat kemampuan (intake) rata-rata peserta didik di sekolah yang bersangkutan
Penetapan intake di kelas VII dapat didasarkan pada hasil seleksi pada saat penerimaan peserta didik baru, Nilai Ujian Nasional/Sekolah, rapor SMP, tes seleksi masuk atau psikotes; sedangkan penetapan intake di kelas VIII dan IX berdasarkan kemampuan peserta didik di kelas sebelumnya.
Penetapan kriteria minimal ketuntasan belajar merupakan tahapan awal pelaksanaan penilaian hasil belajar sebagai bagian dari langkah pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum berbasis kompetensi yang menggunakan acuan kriteria dalam penilaian, mengharuskan pendidik dan satuan pendidikan menetapkan kriteria minimal yang menjadi tolok ukur pencapaian kompetensi.
Sebagai tolok ukur nilai KKM merupakan angka keramat yang harus dicapai dalam penerapan mastery learning atau dijustis sebagai peserta didik yang harus membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai kompetensi (tinggal kelas/mengulang). Di dalam forum MGMP tentunya terjadi diskusi yang seru pada kompleksitas dan identifikasi daya dukung, tetapi pada saat mengisi matriks pada kolom intake siswa akan timbul masalah yang krusial yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. mata pelajaran terdiri dari beberapa Standar Kompetensi (SK), dan di dalam (SK) terdapat beberapa Kompetensi Dasar (KD). Dalam satu Standar Kompetensi terdapat beberapa indicator. Setiap indicator tercantum ketiga komponen KKM yaitu komplesitas, daya dukung, dan intake siswa. Jika intake siswa kelas VII adalah 80 yang diperoleh dari hasil tes seleksi masuk SMP + nilai ulangan akhir di SD, maka semua indicator pada semua kompetensi dasar (KD) akan bernilai 80.
2.` hasil survey guru di kabupaten Barru hingga tanggal 8 oktober, menentukan intake siswa berdasarkan perkiraan.
3. hasil diskusi dengan beberapa guru pada forum Penerapan Model Pembelajaran Efektif (MPE) tanggal 3 – 6 Juli 2009, sebagian guru menetapkan intake siswa dengan perkiraan dan sebagian tes ulang.
B. ANALISIS MASALAH
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) adalah angka yang harus dapat dipertanggungjawabkan, di lain sisi cara mendapatkannya susah untuk dipertanggungjawabkan.
a. Akibat yang ditimbulkan :
1. Ada nilai yang sulit untuk diukur yaitu nilai keberhasilan proses belajar.
2. Peserta didik diharuskan mencapai kompetensi yang ditentukan tanpa mempertimbangkan pengetahuan awal mereka.
3. Guru tidak bertanggung jawab dan sportif mengukur keberhasilan belajar siswanya.
4. Guru hanya berpatokan pada angka – angka yang diinginkan/disepakati tanpa menganalisis data reel yang sebenarnya, sehingga tentunya keputusan yang timbul tentunya menjadi bias.
b. Sumber masalah:
1. Tim Pengembang KTSP kabupaten kurang membimbing penentuan KKM
2. Pengawas SMP/SMA kabupaten masih memerlukan waktu banyak untuk mendiskusikan penentuan KKM sementara mereka sibuk dengan supervise guru dan sekolah.
3. Manajemen kepala sekolah untuk mengimplementasikan KTSP masih membutuhkan Tim pendamping pelaksanaan KTSP dari Dinas/LPMP, sementara masalah KTSP dianggap masalah yang tidak up to date lagi (sejak tahun 2006).
c. Penyelesaian :
1. Tim pengembang tetap konsisten membiaskan hasil Bintek KTSP 2009 dalam berbagai forum ilmiah daerah.
2. Pengawas tetap harus memantau dan menggali sumber terbentuknya KTSP tiap sekolah terutama dokumen I, dan tidak hanya konsetrasi pada dokumen II saja.
3. Kepala sekolah perlu merangkul berbagai nara sumber untuk pembimbingan disekolahnya.
4. Komponen intake siswa perlu diperoleh dengan cara yang dapat dibertanggungjawabkan, misalanya mengadakan tes ulang pada awal tahun ajaran (=hasil diskusi pada forum MPE).
5. setiap kompetensi dasar yang akan dipelajari pada kelas VII di wakili minimal 2 nomor instrument soal, soalnya yang erat kaitannya dengan pelajaran pada kelas saat Sekolah Dasar. Dengan demikian setiap KD intakenya dapat berbeda KD yang lainnya atau indikator-indikator dalam KD dapat berbeda (diskusi informal dengan Dewan Pendidikan Kabupaten Barru).
6. siswa yang di tes tidak semua tetapi sampel dari tiap jenjang kelas/mata pelajaran (diskusi informal dengan pengawas provinsi bulan Juli 2009).
7. Perencanaan untuk mengadakan Tes Akademik Umum (TAU) untuk semua peserta didik kelas VII dengan sampel 60% dari populasi siswa kelas VII.
No comments :
Post a Comment
Tabe' dibutuhkan Komentar yang konstruktif ......;;...