Menarik untuk dicerna secara utuh, jangan tersegmentasi..
PERNYATAAN Mas Menteri Nadiem Makarim
dalam simposium kepala sekolah dan pengawas di Jakarta yang mengamanahkan kepala
sekolah untuk mencari satu saja guru penggerak di sekolahnya untuk dilindungi,
didukung, dan memberikan kewenangan untuk melakukan perubahan yang diinginkan.
Tanpa ragu Mas Menteri juga menambahkan bahwa guru penggerak itu biasanya
“nakal”, memodifikasi kurikulum lebih engaging, membuat kelas yang
menyenangkan, tidak segan-segan mengajak muridnya keluar dari kepenatan kelas,
meracik metode baru dari segala sumber yang didapatkan untuk selanjutnya
diterapkan dalam pembelajarannya. Namun, tidak heran juga jika sering kali apa
yang dilakukan guru penggerak tersebut tidak pernah mendapatkan apresiasi dari
beragam inovasi yang dilakukan. Sebaliknya, tidak jarang pula guru-guru
penggerak yang berpikir dan bertindak gila tersebut malah mendapatkan stigma gila
dan merusak tatanan yang telah rapi sebelumnya.
Harapan besar Mas Menteri untuk mencari
satu saja guru penggerak tersebut kepada para kepala sekolah untuk diberikan
kepercayaan diri melanjutkan kegilaannya dan komitmen kepala sekolah untuk juga
berani pasang badan terhadap inovasi dan kreativitas sang guru penggerak
tersebut menarik sekali untuk dianalisis. Guru penggerak pada era Revolusi
Industri 4.0 seperti saat ini menjadi kebutuhan mendasar bagi sekolah untuk
terus mampu menumbuhkembangkan inovasi dan kreativitas yang diyakini bisa
mendorong cepatnya reformasi pendidikan bagi bangsa Indonesia. Guru penggerak
itu akan menjadi inspirasi bagi guru-guru yang lainnya. Menginspirasi bagi
peserta didiknya, dan pada akhirnya jika diberikan keleluasaan penuh oleh
kepala sekolah akan membuat lembaga pendidikan tersebut melesat dan menjadi
pembeda bagi sekolah yang lainnya.
Pinter Goblok Gaji Sama (PG2S) adalah
akronim yang merupakan dosa warisan turun-temurun dari masa lampau dan telah
menjadi virus akut yang tanpa sadar membunuh pelaku pendidikan, baik yang
berstatus PNS maupun non-PNS. Pendek kata, menjadi guru yang NgaPu-NgaPu
(Ngajar-Pulang-Ngajar-Pulang) dan menjadi guru penggerak yang penuh kreativitas
dan inovasi, guru yang masih mempunyai waktu untuk membangun sekolah ternyata
mempunyai gaji dan tunjangan yang sama. Secara pragmatis tentang bagaimana
fakta gaji dan tunjangan guru berdasarkan masa kerja bukan berbasis kinerja
semakin membuat kebanyakan guru terbelenggu dalam penjara mental PG2S. lebih
parah lagi, lebih bahagia mencari tambahan penghasilan di luar sekolah. Secuil
tips untuk penganut aliran PG2S adalah terbanglah pada masa di mana niat awalmu
menjadi guru adalah untuk membangun bangsa Indonesia tercinta ini melalui
memberikan pendidikan yang baik untuk bekal generasi penerus bangsa mencapai
impiannya.
Napas sang guru penggerak adalah
mencipta perubahan, perubahan kecil dari ruang-ruang kelas dengan mengajar
mendidik dan menghantar para peserta didiknya agar mampu mengimbangi tuntutan
perkembangan zaman yang semakin kompleks. Perubahan yang tercipta dari inovasi
dan kreativitas untuk para siswa dan semua pelaku pendidikan di sekolah jika
dilakukan dengan penuh cinta dan komunikasi baik tentunya akan menjadi
pendorong yang lainnya mengikuti perubahan. Sehingga, apa yang disampaikan Mas
Menteri Nadiem Makarim jika setiap guru melakukan perubahan dengan serentak,
kapal besar bernama pendidikan Indonesia yang berkualitas akan tergerak
bukanlah hal yang utopis.
Masih menurut Mas Menteri, setidaknya
ada lima perubahan kecil yang bisa dilakukan guru dari dalam kelas yaitu dengan
mengajak lebih sering siswa berdiskusi, memberi ruang yang lebih luas untuk
murid berperan menjadi guru, mencetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan
semua kelas, menemukan bakat pada murid yang kurang percaya diri, dan
menawarkan kepada guru lain ketika mengalami kesulitan untuk melakukan apa pun
(kolaboratif). Kelima contoh perubahan kecil itu tentu saja bisa dilakukan
dengan melakukan gebrakan-gebrakan yang tentu saja membutuhkan proses yang
panjang untuk menjadi kebiasaan yang produktif di dalam lingkungan sekolah. Di
samping itu, sang guru penggerak harus siap mendapatkan “perlawanan” dari murid
maupun guru yang terkadang sulit untuk menerima perubahan. Perubahan sekecil
apa pun bagi pelaku pendidikan yang telah nyaman dalam zona kenyamanan,
penganut keseragaman dan cenderung anti perubahan tentu saja akan menjadi
hambatan tersendiri bagi sang guru penggerak. Di sinilah peran kepala sekolah
sebagai manajer yang profesional harus berani pasang badan memberikan
kepercayaan guru penggerak untuk mendobrak perubahan positif.
Pembelajaran era disrupsi yang kecepatan
perubahannya melebihi kecepatan kedipan mata menuntut para pelaku pendidikan
untuk segera melakukan perubahan. Gerakan reformasi pendidikan tidak bisa
bersifat top down atas kuasa pemerintah melalui penganggaran
yang besar kepada kementerian pendidikan. Namun, akan lebih dahsyat dan cepat
hasilnya jika perubahan itu dilakukan oleh individu-individu yang disebut di atas
dengan lahirnya para guru penggerak. Tidak indah kiranya jika bangsa Indonesia
mengulang sejarah yang sama hingga muncul anekdot bahwa ganti menteri adalah
sama dengan ganti kurikulum. Anekdot itu menurut penulis lebih bentuk
keputusasaan tidak bisa melakukan perubahan mendasar seperti yang diharapkan
banyak orang, namun dengan perubahan kurikulum bisa diharapkan bisa
menghegemoni kebanyakan orang.
Menghadapi perubahan yang super cepat
sebenarnya telah banyak dilakukan oleh para guru penggerak untuk selalu berbuat
“gila” di sekolahnya dengan penguatan beberapa kompetensi penting seperti
kreativitas, kolaborasi, komunikasi, berpikir kritis, cara berpikir secara
matematis, dan juga kebatinan kepada sesama. Kompetensi ini harus dibentuk dan
menjiwai pada semua pelaku pendidikan, bukan hanya kepada para peserta didik,
namun juga kepada guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, dan tentunya kepada
semua pemangku kebijakan pendidikan.
Kompetensi kreativitas, komunikasi,
kolaborasi, dan berpikir kritis stimulan yang bisa dilakukan kepada siswa dalam
penilaian tentu saja adalah dengan berani “hijrah” dari soal pilihan ganda
menjadi soal uraian yang berbasis HOTS (high order thinking skills).
Pada soal uraian yang bersifat HOTS akan memberi peluang kepada peserta didik
untuk bisa berselancar bebas berpikir dalam memberikan argumentasi dari setiap
soal yang dibuat oleh guru. Sumbangsih guru penggerak dalam berpikir logis
secara matematis salah satunya adalah bagaimana membuat sistem pelaksanaan
program/kegiatan sekolah yang efektif dan efisien. Penelitian yang pernah
dilakukan oleh penulis tentang penyelenggaraan pendidikan gratis di SMK NU
Tenggarang salah satu hasil penelitian bahwa salah satu penyebab mahalnya
pendidikan disebabkan oleh kepanitiaan yang kapitalis. Menyelenggarakan
pendidikan gratis itu bukan aib akan tetapi itu adalah terobosan demi
terciptanya pemerataan pendidikan dan peningkatan indeks pembangunan manusia
(IPM). Anggaran yang besar dari pemerintah melalui Biaya Operasional Sekolah
(BOS) dan Bantuan Operasional Pendukung Pendidikan (BOPP) dari Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Jatim akan menguap begitu saja jika pelaku pendidikan tidak
“cerdas” dalam memanfaatkan dana pendidikan tersebut.
Adagium lama menyatakan, siapa pun
presidennya, ganti berapa kali pun menteri pendidikannya, sebagus apa pun
kurikulumnya, namun jika guru sebagai garda terdepan suksesnya pembelajaran di
kelas untuk menyiapkan masa depan bangsa terlupakan, maka upaya menciptakan
generasi emas masa depan bangsa Indonesia sama saja dengan menjaring angin. Di
sinilah terlihat bagaimana pentingnya peran guru. Terciptanya semakin banyak
guru-guru gila penggerak yang mampu mendobrak perubahan sangat penting
disegerakan. Meskipun negara mengagendakan Ujian Nasional Berbasis Komputer
(UNBK), namun sang guru penggerak boleh mengadakan Ujian Nasional Berbasis
Laptop (UNBL) bahkan jika bisa berbasis Android (UNBA). Langkah kecil yang
sebenarnya sangat fantastis ini pada banyak tempat juga masih menjadi
persinggungan yang serius. Kebijakan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) yang sekian
lama hanya berjalan 3 bulan dan baru mulai tahun ajaran baru 2019/2020
berlangsung 6 bulan dilakukan oleh guru penggerak dengan melaksanakan PSG
selama 1 tahun sejak 4 tahun yang lalu sebagai bentuk terobosan juga menyisakan
polemik.
Perubahan paradigma menjadi faktor
pendukung yang kuat agar kompetensi-kompetensi tersebut di atas bisa dilakukan
secara masif hingga hasil perubahan pendidikan yang jauh lebih baik segera
dilihat dan dirasakan banyak orang. Pergeseran paradigma menurut bahasa adalah
suatu hal simpel dan biasa, namun ternyata praktiknya sangat sulit dilakukan.
Pejabat pemangku pendidikan harus menggeser paradigma berpikir dari hanya
berdiam diri menunggu masukan bawahan, dengan lebih mendekatkan diri kepada sekolah
untuk mendengarkan langsung kendala-kendala yang dialami sekolah dalam
penyelenggaraan pendidikan. Pengawas sekolah yang selama ini menjadi perwujudan
manusia setengah dewa yang menakutkan bagi guru dan kepala sekolah harus
bergeser paradigmanya menjadi peran teman diskusi yang menyenangkan dan
mencerahkan. Kepala sekolah yang sebelumnya selalu memosisikan diri sebagai
atasan dan cenderung menunggu laporan Asal Bapak Senang (ABS)
harus berubah menjadi seorang leader yang lebih banyak
mendengar apa yang diharapkan masyarakatnya di sekolah. Sementara itu, para
guru yang biasanya hanya melakukan pembelajaran searah dan bersifat transfer
pengetahuan ke siswa harus bergeser menjadi teman diskusi yang menginspirasi
bagi peserta didik.
Modifikasi pembelajaran yang dilakukan
guru penggerak dengan melompat dari kepenatan tuntutan kurikulum dan jauh dari
kebutuhan mendasar yang menjadi bekal nyata bagi lulusan SMK pada banyak tempat
juga menjadi pemantik polemik berkepanjangan. Polemik yang pada dasarnya
berangkat dari suatu langkah yang di luar kebiasaan karena membentur aturan
birokrasi menjadi sangat sulit untuk dilaksanakan. Para guru harus berpikir
kritis bahwa keseragaman kurikulum sistem paket dari pusat tentu saja sering
kali tidak bisa dilakukan sama antara satu sekolah dengan sekolah yang lainnya,
satu daerah dengan daerah lainnya, dan suatu sekolah di perkotaan dengan daerah
pedesaan dan juga daerah terpencil. Sehingga, sebenarnya guru bisa memodifikasi
implementasi kurikulum tersebut sesuai dengan kebutuhan pasar di sekitar
sekolah yang langsung bisa sangat berguna bagi lulusan untuk pengabdian ilmu
pengetahuan yang dimilikinya. Akhirnya, sebagai guru marilah kita berebut
menjadi guru penggerak demi terselenggaranya pendidikan yang sesuai tuntutan
zaman.